Rabu, 17 Julai 2013

SOLAT DAN JARAK ZENIT

Kedudukan matahari _ Zenit - Waktu Solat

Persoalan salat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan “sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103). Konsekuensi logis dari ayat ini adalah salat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis.
Sebelum mengkaji lebih jauh persoalan awal waktu salat, terlebih dahulu perlu dipertanyakan: apakah awal waktu salat itu benar-benar ada? Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah awal waktu, yang ada adalah istilah kitaban mauquta. Meskipun demikian, istilah awal waktu salat sudah demikian populer dikalangan masyarakat. Lalu dimana dapat dijumpai istilah awal waktu salat. Jika dibaca kitab-kitab klasik dengan teliti dan cermat terutama yang mengkaji persoalan-persoalan fikih maka akan ditemukan. Dalam kitab-kitab tersebut ada bab khusus yang berjudul mawaqit as-salat, disinilah akan ditemukan istilah dimaksud. Hampir seluruh kitab fikih pada saat membicarakan salat ada bab khusus yang membicarakan mawaqit as-salat.
Dari sini jelas bahwa istilah awal waktu salat merupakan hasil ijtihad para ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan waktu salat.
Waktu-waktu Salat: Sebuah Kajian Ulang.
Sepanjang penelusuran penulis ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan dalam menetapkan awal waktu salat bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam menetapkan awal waktu salat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal waktu salat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal waktu salat ada lima (lihat Muhammad Jawad Muqniyyah. At-Tafsir al-Kasif, 15:74).
Di Indonesia yang lebih berkembang adalah pendapat kedua. Hal ini didasarkan pada pemahaman terhadap Q. S. An-Nisa’ ayat 103, Al-Isra’ ayat 78, dan Q. S. Taha ayat 130 yang didukung pula dengan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi. Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut dirinci ketentuan waktu-waktu salat sebagai berikut: (1) Zuhur, Waktu Zuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi (culmination) dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar, (2) Asar, waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Magrib, (3) Magrib, waktu Magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Rumusan-rumusan tersebut masih membuka peluang untuk didiskusikan. Akhir-akhir ini bermunculan software tentang awal waktu salat yang merumuskan awal waktu salat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah software Islamic Finder. Selengkapnya perhatikan tabel berikut.
Posisi Matahari dalam Penentuan Waktu Salat
Dari ketentuan yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan salat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada bola langit. Karena itu, dalam penentuan awal waktu salat, data astronomis (zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi, h, atau jarak zenit (bu’du as-sumti), Zm = 90 – h. Fenomena awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari melintasi meridian (culmination), matahari terbenam(sunset), dan akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari (lihat Moedji Raharto, Posisi Matahari Untuk Menentukan Awal Waktu Salat, p. 8).
Awal waktu Zuhur dirumuskan sejak seluruh bundaran matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah lewat tengah hari (Ibid, lihat juga Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984). Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari berada di meridian. Dalam realitasnya, untuk kepentingan praktis, waktu tengah cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Awal waktu Asar, berdasarkan literatur-literatur fikih tidak ada kesepakatan. Hal ini dikarenakan fenomena yang dijadikan dasar tidak jelas. Dalam hadis yang diatas, Nabi SAW. Diajak salat Asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Meskipun dapat disimpulkan bahwa awal Asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi masih menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi sebab bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya (baca Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamiy, I:509).
Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin(Depag RI. Penentuan Jadual Waktu Salat Sepanjang Masa, 29). Pendapat lain menyatakan bahwa salat Asar merupakan waktu pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Pendapat ini diperkuat dengan ungkapan as}-S}ala>ti al-Wust}a (salat yang di tengah-tengah) dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 238 yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir sebagai salat Asar (Sa’di Husain Ali Jabr. Fiqh al-Imam Abiy Thaur, p. 183). Jika pendapat ini yang digunakan, waktu Asar akan lebih cepat dari jadwal salat yang berkembang selama ini.
Waktu Magrib dalam ilmu falak berarti saat terbenam matahari (ghuru>b), seluruh piringan matahari tidak kelihatan oleh pengamat. Piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu di dekat horison terdapat refraksi (inkisa>r al-jawwi) yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi semidiameter (nishfu al-Quth}r) piringan matahari dan refraksi terhadap jarak zenit matahari saat matahari terbit atau terbenam sebesar 50 menit busur. Oleh karena itu terbit dan terbenam matahari secara falak ilmiy didefinisikan bila jarak zenit matahari mencapai Zm= 90 50`. Definisi itu untuk tempat pada ketinggian dipermukaan air laut atau jarak zenit matahari Zm= 91 derajat bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat tinggi posisi pengamat 30 meter dari permukaan laut. Untuk penentuan waktu Magrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
Waktu Isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah (asy-Syafaq al-Ah}mar) di bagian langit sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Q. S. Al-Isra’ ayat 78). Peristiwa ini dalam falak ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight). Pada saat itu matahari berkedudukan 18 derajat di bawah ufuk (horizon) sebelah barat atau bila jarak zenit matahari=108 derajat (baca Saadoe’ddin Jambek. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, p.11).
Waktu Subuh adalah sejak terbit fajar sidik sampai waktu terbit matahari. Fajar sidik dalam falak ilmiy dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18 di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108 derajat). Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari=110 derajat.
Di Indonesia pada umumnya (atau hampir seluruhnya), salat Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20 derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe’ddin Djambek disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20 derajat dibawah ufuk sebelah timur.
Hal senada juga diberikan oleh Abdul Rochim yang menyebutkan bahwa awal waktu Subuh ditandai nampaknya fajar sidiq dan dianggap masuk waktu Subuh ketika matahari 20 derajat di bawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari berjumlah 110 derajat (90+20). Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.
Penulis melihat pemikiran Saadoe’ddin Djambek dan Abdur Rachim di atas nampaknya masih banyak dipengaruhi oleh Syaikh Taher Djalaluddin Azhari. Dalam bukunya yang berjudul Nakhbatu at-Taqrirati fi Hisabi al-Auqati disebutkan bahwa waktu subuh bila matahari 20 derajat di bawah ufuk sebelah timur. Oleh karenanya sudah saatnya kajian awal waktu salat didialogkan dengan hasil-hasil riset kontemporer agar sesuai tuntunan syar’i dan sains modern sehingga hasil yang diperoleh lebih valid dan mendekati kebenaran.
di petik dari  Rukyatul hilal Indonesiadan di susun olih hazaldin  topo.wb.kuala lumpur.
Copyright okt 2009

Tiada ulasan:

Catat Ulasan